Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi (DEB SV) UGM pada tahun ini bekerja sama dengan Forum Komunikasi Industri Jasa Keuangan (FKIJK) DIY dalam meningkatkan kompetensi sumber daya manusia pegawai perbankan di Kabupaten Kulon Progo. Peserta yang hadir merupakan penilai internal dari Bank Konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten Kulon Progo yang tergabung dalam FKIJK. Agenda yang dilaksanakan yakni melakukan pelatihan penilaian agunan sebagai dasar melakukan penilaian yang akurat. Salah satu tahapan mendasar dalam melakukan penilaian agunan yakni inspeksi lapangan.
Berita
Pelatihan terkait inspeksi lapangan dalam penilaian agunan adalah hal yang sangat penting bagi para pegawai perbankan karena berdampak langsung pada proses penilaian serta hasil penilaian dari agunan. Dengan adanya pelatihan inspeksi lapangan ini, pengetahuan dan keterampilan pegawai dapat ditingkatkan karena mendapatkan pembekalan ilmu dan keterampilan yang dapat bermanfaat untuk melakukan penilaian yang akurat. Bank Konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang tergabung dalam Forum Komunikasi Industri Jasa Keuangan (FKIJK) wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, sangat berperan aktif dalam sektor perbankan, termasuk di bidang penilaian agunan bank. Namun, tidak semua penilai internal bank mengikuti pelatihan sertifikasi secara berkelanjutan yang diadakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).
Migrasi penduduk, perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain, merupakan fenomena kompleks dengan implikasi signifikan bagi pembangunan dan keberlanjutan perkotaan. UNCTAD 2023, memprediksi proporsi penduduk dunia yang tinggal di kawasan perkotaan mencapai 68% pada tahun 2050. Seiring dengan terus meningkatnya urbanisasi secara global tantangan dalam mengelola pertumbuhan ini secara berkelanjutan menjadi semakin mendesak.
Krisis lahan merupakan tantangan global yang semakin mendesak, terutama di negara-negara berkembang dengan pertumbuhan penduduk yang pesat. Permintaan lahan yang terus meningkat untuk berbagai keperluan, seperti pertanian, permukiman, dan industri, menyebabkan degradasi lahan, erosi, dan hilangnya lahan produktif. Kondisi ini mengancam ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Menanggapi permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia dalam Kabinet Merah Putih berkomitmen untuk mewujudkan ketahanan pangan Indonesia melalui program diversifikasi pangan dan swasembada dari desa. Program ini bertujuan agar lahan-lahan yang ada di wilayah pedesaan tidak terdegradasi dan tetap dapat menjadi faktor produksi pemenuh kebutuhan pangan.
Gambar Ilustrasi
Meskipun OECD telah menyoroti peningkatan utang pemerintah akibat belanja berlebih, terutama setelah krisis keuangan 2008, dalam satu manuskripnya berjudul Restoring Fiscal Sustainability, tampaknya studi dan kebijakan yang berorientasi pada upaya pengelolaan keuangan negara berbasis keberlanjutan tidak cukup popular di tengah-tengah masyarakat. Salah satu aspek penting pengelolaan keuangan negara yang perlu disoroti adalah penganggaran karena menjadi rujukan kebijakan, dirumuskan secara politis, dan mencerminkan orientasi pemerintah pada periode tersebut. Terlebih cukup banyak negara yang mengadopsi rezim anggaran defisit yang memungkinkan terwujudnya celah inefisiensi.
Gambar Ilustrasi
Perkiraan transaksi haji dan umrah Indonesia setiap tahun sekitar Rp 69,9 triliun atau setara USD 4,6 milyar. Perhitungan ini belum termasuk belanja tunai dan nontunai oleh para jamaah langsung pada saat menjalankan ibadah haji dan umrah di Arab Saudi. Besarnya dana ini dapat dilihat dari berbagai sisi, potensi devisa keluar dari Indonesia ataupun dampak lingkungan. Pengelolaan ibadah haji dan umroh secara tradisional dapat meningkatkan dampak buruk bagi lingkungan. Tentu hal ini tidak sejalan dengan upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Untuk itu, penting untuk mengembangkan manajemen penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang cepat, responsive, sekaligus mengurangi dampak buruk bagi lingkungan.
Persepsi masyarakat mengenai perbankan syariah di Indonesia sangat beragam, dipengaruhi oleh pemahaman, pengalaman, dan pengetahuan mereka tentang sistem ini. Beberapa faktor utama yang memengaruhi pandangan masyarakat terhadap perbankan syariah:
Gambar Ilustrasi
Pemasaran digital saat ini menjadi alat penting bagi berbagai usaha dan organisasi untuk bersaing di pasar. Namun, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam menerapkan strategi pemasaran digital yang membatasi kemampuan mereka untuk berkompetisi secara efektif. Beberapa hambatan utama yang dihadapi UMKM mencakup keterbatasan akses teknologi, kurangnya literasi digital, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), persaingan yang ketat, rendahnya kualitas produk, serta akses permodalan yang terbatas. Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa meskipun UMKM memiliki potensi besar untuk tumbuh melalui pemasaran digital, terdapat berbagai faktor internal dan eksternal yang perlu diatasi agar mereka dapat bersaing di pasar digital.
Gambar Ilustrasi
Perbankan syariah menawarkan alternatif bagi masyarakat yang ingin menjauhi praktik riba dan berinvestasi secara etis. Bank syariah juga memiliki peran penting dalam mendukung proyek-proyek sosial dan ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat, sehingga berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia didukung oleh landasan hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang memberikan kepastian hukum bagi operasional bank syariah. Dengan adanya regulasi ini, industri perbankan syariah diharapkan dapat berkembang lebih cepat dan terstruktur.
Penulis: Rizky Wulandari
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) sejak September 2015 telah menjadi komitmen global. Terdapat 17 (tujuh belas) tujuan yang menjadi target Pemerintah Indonesia. Pada khususnya pada tujuan 16 yaitu Perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat diharapkan seluruh lembaga negara akan hidup secara terus menerus dengan tata kelola yang baik. Mendasari pada tujuan 16 SDGs ini maka komitmen seluruh lembaga negara dalam menciptakan lingkungan tata kelola yang baik untuk dapat berlangsung secara terus menerus menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Beberapa indikator dari tujuan 16 dapat kita cermati sebagai berikut: Indikator 16.6.1. (b) Persentase peningkatan Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKIP) Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah; Indikator 16.6.1. (d) Persentase instansi pemerintah yang memiliki nilai Indeks Reformasi Birokrasi Baik Kementerian/Lembaga/dan Pemerintah; Indikator 16.5.1. (a) Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) indikator 16.6.1.(a) Persentase instansi pemerintah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); Indikator 16.6.1.(b) Persentase instansi pemerintah dengan skor Sistem Akuntabilias Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) ≥ B; Indikator 16.6.1.(c) Persentase instansi pemerintah dengan Indeks Reformasi Birokrasi (RB) ≥ B; Indikator 16.6.2.(a) Jumlah Instansi pemerintah dengan tingkat kepatuhan pelayanan publik kategori baik (Bappenas, 2024), merupakan beberapa indikator yang dapat dicapai jika didasari dengan adanya tata kelola organisasi yang baik. Sejalan dengan tujuan 16 SDGs tersebut, penerapan prinsip three lines of defense dapat dipertimbangkan untuk dapat menjawab kebutuhan tata kelola organisasi yang baik dalam mencapai tujuan 16 SDGs. Prinsip three lines of defense merupakan suatu kerangka kerja yang diterapkan dalam manajemen risiko, dengan membagi tanggung jawab antara tiga “garis pertahanan” yang berbeda dalam organisasi untuk memastikan manajemen risiko dan pengendalian yang efektif dalam pencapaian tujuan jangka panjang organisasi (GRC Indonesia, 2024).