Financial technology atau sering disebut dengan istilah Fintech telah mengubah lanskap layanan keuangan global setidaknya selama satu dekade terakhir. Inovasi keuangan seperti pembayaran digital, e-wallet, peer‑to‑peer lending, ataupun crowdfunding kini dapat diakses dengan hanya melalui ponsel. Kemudahan akses ini membuka peluang inklusi keuangan bagi masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan formal sebelumnya. Kemudahan ini, ditopang penetrasi internet dan biaya transaksi yang makin rendah, menegaskan posisi Fintech sebagai katalis dari pertumbuhan ekonomi inklusif.
Kemajuan tersebut memiliki implikasi langsung terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan. Pertama, Fintech mendukung SDG 8 dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui penciptaan lapangan kerja baru di sektor ekonomi digital sekaligus mempercepat sirkulasi modal bagi UMKM. Kedua, adopsi teknologi keuangan mendorong penguatan infrastruktur telekomunikasi serta inovasi industri, yang mana hal ini selaras dengan SDG 9. Terakhir, dan yang paling krusial, Fintech berpotensi memperkecil ketimpangan pendapatan, sehingga menjadi instrumen riil untuk mencapai SDG 10 untuk mengurangi kesenjangan.
Sejumlah studi empiris mengonfirmasi potensi tersebut. Demir et al. (2022) menemukan penurunan Koefisien Gini pada negara‑negara berkembang seiring meningkatnya transaksi keuangan digital. Studi dari Frost (2020) menekankan bahwa penetrasi Fintech mempercepat penyediaan kredit mikro yang sebelumnya terhambat oleh biaya birokrasi perbankan konvensional. Analisis bibliometrik mutakhir juga menunjukkan koridor penelitian yang kian menyoroti interaksi antara Fintech, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pendapatan (Abdinova et al., 2024).
Meski demikian, literatur juga mencatat bahwa kemajuan Fintech tidak otomatis menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Saraswati et al. (2020) menemukan bahwa manfaat Fintech lebih banyak dirasakan oleh masyarakat yang sudah melek teknologi, sementara kelompok yang kurang memiliki literasi digital atau tidak memiliki akses terhadap infrastruktur digital yang memadai justru tertinggal. Ini berarti bahwa tanpa upaya serius dalam meningkatkan infrastruktur digital dan literasi keuangan, Fintech justru berpotensi memperbesar jurang ketimpangan ekonomi.
Secara keseluruhan, bukti empiris dan tren kebijakan menunjukkan bahwa Fintech dapat menjadi pendorong utama pencapaian SDGs, asalkan difasilitasi oleh strategi integratif yang memastikan manfaatnya menjangkau kelompok rentan. Dengan demikian, sinergi antara inovasi teknologi, regulasi inklusif, dan investasi infrastruktur digital bukan hanya memperkuat ekosistem keuangan modern, tetapi juga mengakselerasi agenda pembangunan berkelanjutan menuju masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. [Red. Satriyo]
Abdinova, M., Lambekova, A., & Myrzhykbayeva, A. (2024). FinTech Development: A Bibliometric Analysis of the Scopus Database (2014-2024). Procedia Computer Science, 251, 49-56. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.procs.2024.11.083
Demir, A., Pesqué-Cela, V., Altunbas, Y., & Murinde, V. (2022). Fintech, financial inclusion and income inequality: a quantile regression approach. The European Journal of Finance, 28(1), 86-107. https://doi.org/10.1080/1351847X.2020.1772335
Frost, J. (2020). The economic forces driving fintech adoption across countries. BIS Working Papers.
Saraswati, B. D., Maski, G., Kalug, D., & Sakti, R. K. (2020). Does Financial Technology Affect Income Inequality in Indonesia? KnE Social Sciences, 4(7). https://doi.org/10.18502/kss.v4i7.6850