Dalam satu dekade terakhir, dunia korporasi tak lagi semata-mata mengejar profit. Di era yang ditandai dengan krisis iklim, ketimpangan sosial, dan tuntutan tata kelola yang lebih transparan, perusahaan dituntut berperan aktif dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang dicanangkan PBB.
SDG
Introduction:
Adopting Islamic banking services in Indonesia is driven by factors such as Sharia compliance and convenience. This research explores how these two factors influence consumer decisions to adopt Islamic banking over conventional banking options. Understanding the underlying motivations for Islamic banking adoption can have significant implications for policy-making and financial inclusion, which aligns with several Sustainable Development Goals (SDGs), particularly those related to poverty alleviation, economic growth, and job creation.
Penulis: Rizky Wulandari
Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) telah menjadi komitmen global sejak September 2015. Sebagai tindak lanjut atas komitmen tersebut, Indonesia merumuskan target-target SDGs dengan menerbitkan dokumen perencanaan pembangunan di tingkat nasional sebagai acuan pelaksanaan. Terdapat 17 (tujuh belas) tujuan yang menjadi target Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Metadata Indikator Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola 2024, pada tujuan 16 perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh, salah satunya diwujudkan dengan kode indikator 16.5 yaitu secara substansial mengurangi korupsi dan penyuapan dalam segala bentuknya. Pencapaian ini dilekatkan pada Kejaksaan Repubik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan data hasil pemantauan tren penindakan kasus korupsi tahun 2023 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tersaji pada gambar 1, tren kasus korupsi per tahun 2023 meningkat.
Financial technology atau sering disebut dengan istilah Fintech telah mengubah lanskap layanan keuangan global setidaknya selama satu dekade terakhir. Inovasi keuangan seperti pembayaran digital, e-wallet, peer‑to‑peer lending, ataupun crowdfunding kini dapat diakses dengan hanya melalui ponsel. Kemudahan akses ini membuka peluang inklusi keuangan bagi masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan formal sebelumnya. Kemudahan ini, ditopang penetrasi internet dan biaya transaksi yang makin rendah, menegaskan posisi Fintech sebagai katalis dari pertumbuhan ekonomi inklusif.
Dua mahasiswi Departemen Ekonomika dan Bisnis (DEB), Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (SV UGM), berkesempatan mengikuti Program Global Summer Week 2025 yang diselenggarakan oleh Global Relations and Mobility Office (GREAT) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Program ini berlangsung selama dua pekan, dari Senin, 14 Juli hingga Jumat, 25 Juli 2025.
Oleh : Anisa Nurpita, Bagasakara, Fatima Putri Prativi, Miftah Pandu Saputra dan Wieyza Ananda LuqmanYogyakarta, 15 Juli 2025 — Sebagai salah satu ikon budaya sekaligus pusat ekonomi rakyat, Pasar Beringharjo tidak hanya menjadi tempat transaksi, namun juga representasi penting dari keberlanjutan kota. Studi terbaru menyoroti kinerja pengelolaan bangunan dan fasilitas di Pasar Beringharjo, yang mencerminkan tantangan serta potensi besar dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya tujuan ke-11: Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tengah dihadapkan pada tantangan serius soal keterjangkauan perumahan, meski upah minimum regional di provinsi ini tercatat terendah di Pulau Jawa. Kenaikan harga rumah yang terus meroket membuat banyak warga terutama generasi mudakesulitan mewujudkan impian memiliki hunian sendiri. Permintaan rumah di Yogyakarta dipicu oleh besarnya porsi penduduk usia 15–26 tahun yang memasuki usia menikah dan berencana berinvestasi dalam kepemilikan rumah. Namun, kombinasi antara pendapatan rumah tangga yang terbatas dan harga properti yang terus meningkat mendorong angka keterjangkauan perumahan ke titik terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami lonjakan investasi di sektor properti komersial dalam beberapa tahun terakhir. Proyek-proyek seperti pembangunan hotel, resort, hingga pusat perbelanjaan berkembang pesat di berbagai wilayah, termasuk Gunungkidul, Kulon Progo, dan Bantul. Meski berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, pembangunan ini juga memunculkan tantangan serius seperti konflik tata ruang, kerusakan lingkungan, serta ketimpangan sebaran investasi. Hal ini menegaskan pentingnya sebuah pendekatan analitis yang berbasis spasial untuk memastikan lokasi investasi benar-benar layak dari sisi fisik, lingkungan, dan perencanaan wilayah.