Yogyakarta Sabtu, 31 Agustus 2024 – UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) merupakan tulang punggung ekonomi desa dan daerah. Mayoritas pelaku UMKM adalah usaha mikro dengan omzet kurang dari Rp300 juta per tahun dan menyerap tenaga kerja satu hingga empat orang. Masalahnya, usaha mikro di Kalurahan Sendangsari masih menghadapi keterbatasan modal, pasar yang hanya berorientasi satu kelurahan/kecamatan, kualitas dan kuantitas produk yang masih rendah, tenaga kerja yang diserap terbatas dan masih berasal dari keluarga, masih menggunakan teknologi sederhana, dan belum aktif menggunakan sosial media sebagai sarana pemasaran.
Dalam konteks inilah dibutuhkan pelatihan untuk meningkatkan kinerja usaha kecil dan mikro menjadi UKM: Usaha Kecil tapi Milyaran. Program Studi Pembangunan Ekonomi Kewilayahan, Departemen Ekonomika dan Bisnis, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada (PEK DEB SV UGM) melakukan kegiatan pengabdian masyarakat dengan tema Manajemen UMKM untuk para pelaku bisnis dan pengelola BUMDes yang dilaksanakan pada Sabtu, 31 Agustus 2024 di Gedung Field Research Centre, Wates, Kabupaten Kulon Progo. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja UMKM melalui strategi pengembangan produk, pemasaran, produksi, dan perbaikan manajemen UMKM.
Pelatihan manajemen UMKM ini diawali dengan sambutan dari Ibu Laksmi Yustika Devi Ph.D, Ketua Program Studi PEK UGM. “Kami melihat potensi yang sangat besar dari para pelaku UMKM di Sendangsari. Dengan memberikan pelatihan dan pendampingan yang tepat, diharapkan para pelaku UMKM di sini dapat meningkatkan kualitas produk dan pemasarannya sehingga mampu bersaing di pasar yang lebih luas.”, ungkap alumni Auckland University of Technology ini. Laksmi menekankan pentingnya peningkatan kualitas produk dan pemasaran UMKM.
Pelatihan manajemen UMKM ini mendapat apresiasi dari Suhardi, Lurah Sendangsari, yang mengikuti pelatihan dari awal hingga akhir. Pak lurah atas nama warga Desa Sendangsari menyambut baik serta berterima kasih atas kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh PEK UGM. Kegiatan pelatihan ini diikuti oleh 30 peserta pelaku usaha mikro dan pengelola BUMDes di Kalurahan Sendangsari.
Pelatihan Manajemen UMKM dibuka oleh ketua tim sekaligus moderator yakni Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D. Guru Besar PEK UGM ini memaparkan isu sentral di era industri 4.0 yaitu VUCA. VUCA adalah Volatility, yaitu pentingnya mencermati disrupsi dan perubahan dinamis dan serba cepat di era industri 4.0. Uncertainty, yaitu ketidakpastian yang selalu dihadapi semua pelaku bisnis. Complexity adalah memahami kompleksitas dan persaingan bisnis. Ambiguity adalah kebimbangan yang dihadapi pelaku bisnis yang sering tidak memahami sebab dan akibat. Untuk menghadapi VUCA dibutuhkan VUCA yang lain yaitu: Vision (visi), Understanding (pemahaman), Clarity (kejelasan), dan Agility (jeli melihat peluang). Selain itu, penulis 74 buku ini menyoroti Kabupaten Kulon Progo adalah kabupaten yang paling terpukul akibat pandemi dan resesi pada tahun 2020. Seluruh desa, termasuk Kalurahan Sendangsari, yang berada di Kulon Progo juga mendapat pukulan berat akibat berkurangnya daya beli, yang mengakibatkan tingkat kemiskinan di Kulon Progo menjadi tertinggi ketiga se-provinsi DIY. Namun, sejak 2021 triwulan II, Kulon Progo dan seluruh kabupaten/kota di DIY sudah keluar dari resesi dan pandemi, bahkan tumbuh positif.
Prof. Mudrajad juga memaparkan data bahwa mayoritas UMKM di Kulon Progo masih tergolong mikro. Oleh karena itu, diperlukan visi dan strategi bagi pelaku bisnis dan BUMDes di Kalurahan Sendangsari untuk ‘naik kelas’ agar pelaku bisnis mikro menjadi usaha kecil dengan omzet per tahun antara Rp300 juta sampai Rp2,5 milyar. BUMDes naik kelas dari kecil menjadi usaha bisnis menengah dengan omzet minimal Rp2,5 milyar.
Tim pengabdian PEK UGM menyampaikan materi kepada para peserta pelatihan dari pukul 09.30 hingga 12.00. Pembicara utama disampaikan oleh Mohammad Genta Mahardika, S.E., MBA., founder Eureka Mahardhika dan senior Business Development di Amalan International Indonesia. strategi pengembangan produk hingga strategi pengembangan pemasaran secara digital maupun konvensional. Mohammad Genta Mahardika, yang akrab dipanggil Mas Genta, memulai materinya berjudul ‘Naik Kelas, Ekonomi Berkelas’. Mas Genta menekankan kepada pentingnya kehadiran BUMDes, baik sebagai pemecah masalah maupun mengembangkan potensi ekonomi desa.
Mas Genta juga memaparkan terkait strategi pengembangan produk dan strategi pengembangan pemasaran yang berbasis media sosial dan IT. Pada strategi pengembangan produk, diperlukan pemahaman yang komprehensif dari proses produksi produk, SDM yang dimiliki, bahan baku produk, kondisi pasar dan pembeli, modal, serta manajemen yang tepat. Selain itu, beberapa permasalahan umum yang terjadi baik pada sisi manajemen maupun ketenagakerjaan juga perlu diidentifikasi. Di samping itu, sisi strategi pengembangan pemasaran baik pada sisi konvensional dan digital juga perlu dikembangkan. Beberapa saluran konvensional juga disesuaikan dengan target pemasaran seperti siswa di sekolah, wisatawan di pusat cindera mata, dan pegawai di kantor kelurahan. Sedangkan untuk mengoptimalkan saluran digital, pemasaran dapat dilakukan melalui sosial media yang populer di Indonesia, seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, dan TikTok. Mas Genta mengungkapkan pula bahwa kunci strategi pemasaran yang efektif adalah mengenali dan menyiasati ‘PORORO’, yaitu singkatan dari PrOduk, haRga, lOkasi, dan pROmosi. Dengan mengenali hal tersebut, pemasaran produk akan jauh lebih efektif.
Sesi tanya jawab-pun akhirnya dibuka seusai sesi pemaparan materi selesai. Pertanyaan pertama diutarakan oleh Bu Eka, selaku direktur jasa keuangan mikro BUMDes Sendangsari. Eka menjelaskan bahwa jasa keuangan BUMDes Sendangsari mengalami penurunan Sisa Hasil Usaha (SHU) pasca pandemi. Gambar 1 menunjukkan SHU meningkat dari Rp238,1 juta tahun 2015 menjadi Rp282,3 juta tahun 2020. Namun, SHU anjlok drastis menjadi Rp234,6 juta tahun 2021. Bu Eka juga menanyakan permasalahan packaging, standar produk, kadaluwarsa, dan cara bekerjasama dengan koperasi di lingkungan UGM.
Bu Sutinem, seorang pelaku usaha mikro yang menjual jamu beras kencur dan kunyit asam, memiliki permasalahan yang berbeda. Ia menanyakan kepada Mas Genta bagaimana strategi manajemen dan pemasaran yang dapat dilakukan agar usahanya makin maju dan berkembang. Bu Sutinem hanya memiliki satu karyawan dengan omset Rp500 ribu sebulan, atau sekitar Rp6 juta setahun. Untuk itu dibutuhkan strategi diversifikasi produk dan penetrasi pasar yang lebih intensif dibandingkan yang selama ini telah dilakukan. Kesimpulan utama dari hasil pelatihan adalah pentingnya pemahaman akan permasalahan yang terjadi di UMKM dan bagaimana memilih strategi yang tepat untuk mengatasinya. (Red. Steavy)