Yogyakarta, Oktober 2025 — Indonesia sebagai negara kepulauan tropis dikenal memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana, terutama bencana hidrometeorologi seperti banjir. Dalam satu dekade terakhir, fenomena ini menunjukkan tren yang semakin meningkat seiring dengan intensifikasi dampak perubahan iklim. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah kejadian banjir meningkat signifikan dari 596 kejadian pada tahun 2014 menjadi 1.420 kejadian pada tahun 2024, dengan puncaknya pada tahun 2021 yang mencapai 1.795 kejadian. Peningkatan ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan lingkungan, tetapi juga berdampak besar terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut data Pusat Data dan Informasi Bencana (DiBI BNPB, 2025), kerugian ekonomi akibat banjir di Indonesia juga turut meningkat dari Rp747 juta pada tahun 2014 menjadi Rp2 miliar pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan bahwa banjir bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga tantangan ekonomi yang serius. Untuk memahami dampak ekonomi dari banjir, tim peneliti dari Departemen Ekonomika dan Bisnis melakukan kajian dengan menggunakan data 34 provinsi di Indonesia selama periode 2014–2024. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banjir dapat menurunkan PDRB perkapita baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Temuan ini mengindikasikan bahwa dampak ekonomi banjir tidak hanya bersifat langsung melalui kerusakan fisik dan gangguan aktivitas ekonomi, tetapi juga memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Selain itu, penelitian tersebut menemukan bahwa peningkatan kejadian banjir ternyata berpotensi menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Meski demikian, efek ini sangat kecil dan kemungkinan dipengaruhi oleh bantuan sosial serta intervensi pemerintah yang diberikan pascabencana, yang cenderung menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, hasil ini menegaskan pentingnya peran kebijakan publik dalam memperkuat ketahanan sosial-ekonomi masyarakat terdampak.
Melihat temuan tersebut, pemerintah perlu memperkuat strategi kesiapsiagaan dan mitigasi bencana dengan pendekatan yang lebih terintegrasi. Upaya strategis yang dapat dilakukan meliputi investasi dalam infrastruktur tahan bencana, peningkatan sistem peringatan dini, serta pemberdayaan masyarakat rentan agar memiliki kapasitas adaptif yang lebih baik. Selain itu, kebijakan pembangunan nasional perlu mengintegrasikan aspek adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam setiap perencanaan ekonomi dan tata ruang wilayah. Pendekatan ini bukan hanya untuk mengurangi risiko bencana, tetapi juga untuk menciptakan ketahanan ekonomi jangka panjang di tengah tantangan iklim global yang semakin kompleks.
Dampak jangka panjang banjir terhadap kondisi ekonomi dan ketimpangan di Indonesia menjadi pengingat penting akan keterkaitan erat antara perubahan iklim, stabilitas ekonomi, dan keadilan sosial. Kajian ini sejalan dengan komitmen global terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 1 (Tanpa Kemiskinan) melalui penguatan perlindungan sosial bagi masyarakat terdampak bencana, SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) melalui investasi berkelanjutan pada sektor infrastruktur dan mitigasi bencana, SDG 10 (Berkurangnya Ketimpangan) dengan mendorong pemerataan bantuan dan kesempatan ekonomi antarwilayah, serta SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim) melalui kebijakan adaptasi iklim yang berbasis data dan riset ilmiah.
Sebagai penutup, banjir tidak hanya menjadi ujian bagi ketahanan fisik dan ekonomi Indonesia, tetapi juga menjadi cerminan sejauh mana komitmen nasional dalam membangun masyarakat yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim, upaya kolektif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci untuk melindungi ekonomi nasional sekaligus menjaga kesejahteraan generasi mendatang. [Red. Amesta]
