Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini berkembang pesat sebagai salah satu wilayah dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang tinggi di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, wajah Yogyakarta banyak berubah — dari kawasan pendidikan dan budaya yang tenang, menjadi pusat aktivitas ekonomi dan properti yang dinamis. Data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DIY mencatat bahwa investasi di sektor properti naik hingga 11,7% sepanjang tahun 2022–2023, dengan fokus utama di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Lonjakan ini menunjukkan betapa tingginya minat investor terhadap wilayah perkotaan DIY yang strategis dan ramai kegiatan.
Penelitian berbasis spasial yang dilakukan oleh dosen peneliti Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM yaitu Fatima Putri Prativi, Anisa Nurpita, dan Amesta Kartika Ramadhani serta asisten peneliti Dika Yogi Aliana dan Made Gede Primus, menyoroti pentingnya analisis tata guna lahan dalam menentukan kelayakan investasi di DIY. Melalui pendekatan Weighted Overlay Method dalam Sistem Informasi Geografis (SIG), dilakukan penilaian terhadap kesesuaian lahan berdasarkan empat parameter utama: aksesibilitas jalan, tata guna lahan, penggunaan lahan, dan tingkat risiko bencana (multi-bencana). Dari keempat parameter tersebut, tata guna lahan memiliki peran krusial karena menggambarkan sejauh mana pemanfaatan lahan aktual telah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Kesesuaian tata guna lahan menggambarkan sejauh mana pemanfaatan ruang aktual telah mengikuti rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang berlaku. Semakin sesuai pemanfaatan lahan dengan peruntukannya, semakin tinggi pula potensi wilayah tersebut untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Wilayah dengan skor rendah (0–1) seperti Gedangsari, Patuk, Paliyan, dan Panggang menunjukkan ketidaksesuaian antara kondisi pemanfaatan lahan dan peruntukan ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh topografi yang curam, keterbatasan aksesibilitas, serta risiko bencana tinggi yang membatasi pengembangan lahan untuk fungsi permukiman atau komersial. Hal tersebut memperlihatkan bahwa meskipun suatu kawasan mungkin memiliki nilai lahan yang murah atau lokasi yang menarik secara visual, tanpa kesesuaian tata guna lahan, investasi di wilayah tersebut berisiko tinggi baik dari sisi keamanan, legalitas, maupun keberlanjutan.
Kawasan dengan skor tinggi (2–3) seperti Depok, Gamping, Sewon, Tepus, dan Tanjungsari menunjukkan bahwa penggunaan lahannya telah sejalan dengan fungsi ruang yang direncanakan. Wilayah-wilayah ini umumnya memiliki kondisi lahan stabil, infrastruktur memadai, serta tidak termasuk dalam kawasan lindung atau rawan bencana. Dengan demikian, tingkat kesesuaian tata guna yang tinggi menjadi indikator kuat bahwa suatu wilayah memiliki daya dukung lingkungan dan legalitas ruang yang baik untuk kegiatan investasi properti.
Harapan dan Tantangan
Meskipun sebagian wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kesesuaian tata guna lahan yang tinggi, penerapan di lapangan masih menghadapi sejumlah kendala. Tantangan utama terletak pada alih fungsi lahan akibat pesatnya pembangunan sektor properti yang sering kali tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Tekanan terhadap lahan pertanian produktif, ruang terbuka hijau, dan kawasan lindung terus meningkat, terutama di wilayah perkotaan seperti Sleman dan Bantul. Selain itu, lemahnya pengawasan dan kepatuhan terhadap RTRW turut menyebabkan munculnya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang di beberapa daerah.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat harapan besar untuk mewujudkan pembangunan yang lebih tertib dan berkelanjutan. Melalui pemanfaatan data spasial seperti peta skor tata guna lahan, pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berbasis bukti. Kesadaran masyarakat dan pelaku investasi yang semakin meningkat terhadap pentingnya kesesuaian tata ruang juga menjadi modal penting menuju Yogyakarta yang maju, hijau, dan berkelanjutan.

Solusi
Untuk mengatasi permasalahan kesesuaian tata guna lahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, diperlukan langkah terpadu antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku investasi. Pertama, pemerintah daerah perlu memperkuat pengawasan dan penegakan aturan tata ruang, terutama di wilayah dengan skor rendah agar pembangunan tidak melanggar RTRW. Kedua, pembangunan sebaiknya difokuskan pada wilayah dengan skor tata guna lahan tinggi (2–3) yang sudah sesuai peruntukan, dengan menerapkan prinsip green development agar tetap ramah lingkungan. Ketiga, perlu peningkatan edukasi dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang serta pemanfaatan data spasial sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan kolaborasi dan perencanaan yang terarah, Yogyakarta dapat tumbuh sebagai wilayah yang berkembang secara ekonomi sekaligus berkelanjutan secara lingkungan. [Red. Fatima]