Yogyakarta, kota pelajar yang dikenal dengan suasana akademis dan budayanya, kini menghadapi tantangan besar dalam sektor perumahan, terutama bagi generasi milenial yang menjadi salah satu pendorong utama urbanisasi di kawasan ini. Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa generasi milenial di Yogyakarta sedang berjuang untuk mendapatkan rumah tapak di tengah lonjakan harga properti yang tajam.
Menurut riset yang dilakukan oleh Fatima Putri Prativi dan Nur Aini Yuniarti dari Sekolah Vokasi UGM, lebih dari 60% generasi milenial di Yogyakarta belum memiliki rumah sendiri. Studi ini melibatkan 125 responden yang terdiri dari pekerja berusia antara 27 hingga 41 tahun dan mengungkapkan berbagai faktor yang memengaruhi preferensi mereka terhadap kepemilikan rumah tapak di Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta.
Harga rumah di Perkotaan Yogyakarta telah meningkat secara drastis dalam 16 tahun terakhir, hingga mencapai 64,4%. Dalam konteks ini, pendapatan rata-rata pekerja milenial di Yogyakarta, yang hanya mencapai Rp 2.361.434 per bulan, tidak sebanding dengan kenaikan harga properti. Meskipun ada kenaikan upah tahunan sekitar 8,51%, angka ini jauh dari cukup untuk mengimbangi lonjakan harga properti yang saat ini berkisar antara Rp 350.000.000,- s/d Rp 500.000.000,- untuk rumah tapak tipe sederhana di pinggiran Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta.
Preferensi Milenial Terhadap Rumah Tapak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi keputusan generasi milenial dalam membeli rumah tapak adalah biaya pembangunan rumah, kualitas material bangunan, dan nominal angsuran. Biaya pembangunan rumah dan kualitas material bangunan menjadi perhatian utama karena mereka berpengaruh langsung terhadap keputusan investasi dalam properti. Nominal angsuran rumah juga menjadi faktor penting, karena menentukan kemampuan mereka untuk membayar cicilan secara bulanan.
Sementara itu, faktor-faktor seperti jarak rumah ke bandara, halte, atau stasiun terdekat dianggap tidak signifikan dalam keputusan pembelian. Hal ini menunjukkan bahwa aspek-aspek praktis dari transportasi publik mungkin tidak terlalu menjadi prioritas bagi mereka, kemungkinan karena keterbatasan transportasi publik yang ada di Yogyakarta.
Tantangan dan Harapan
Dalam wawancara, salah satu responden, Andi, seorang pekerja yang telah tinggal di Yogyakarta selama 8 tahun, mengungkapkan, “Dengan kenaikan harga yang begitu pesat, sulit untuk menabung untuk DP rumah. Gaji saya tidak naik secara proporsional dengan kenaikan harga rumah. Saya harus lebih pintar dalam merencanakan keuangan dan mungkin mencari opsi lain seperti rumah subsidi.”
Studi ini juga mencatat bahwa sekitar 47% responden mampu membayar biaya pembangunan rumah sekitar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per meter persegi. Sementara itu, 29% responden hanya mampu membayar di bawah Rp 3 juta per meter persegi, menunjukkan adanya variasi yang signifikan dalam kemampuan finansial mereka.
Solusi
Para peneliti menyarankan bahwa penting bagi pemerintah dan pengembang properti untuk mempertimbangkan kebutuhan spesifik generasi milenial. Ini termasuk menawarkan skema pembiayaan yang lebih terjangkau dan kualitas material bangunan yang lebih baik untuk menyesuaikan dengan anggaran mereka. Dengan adanya kebijakan dan program yang mendukung, diharapkan generasi milenial dapat lebih mudah mengakses kepemilikan rumah tapak di tengah tantangan harga yang terus meningkat.
“Upaya kolaboratif antara sektor publik dan swasta sangat diperlukan untuk menciptakan solusi yang dapat menjawab kebutuhan perumahan generasi milenial,” kata Fatima Putri Prativi. “Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa membantu generasi ini mendapatkan rumah yang mereka impikan di Yogyakarta.”
Dengan perhatian dan tindakan yang tepat, diharapkan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta dapat tetap menjadi tempat tinggal yang menarik dan terjangkau bagi generasi milenial dengan fokus pengembangan pada kecamatan di kawasan aglomerasi seperti Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Banguntapan. Lokasi pembangunan yang tepat sasaran memberikan peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kota Yogyakarta. (Red. Fatima)