Kabupaten Gunungkidul menghadapi tantangan fiskal yang tidak ringan. Struktur pendapatan daerah masih didominasi oleh transfer pemerintah pusat, yang mencapai sekitar 76 persen dari total pendapatan, sementara kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru sekitar 14 persen. Ketimpangan ini membuat ruang fiskal APBD sangat rentan terhadap perubahan kebijakan pusat dan membatasi kemampuan daerah untuk membiayai program strategis pembangunan.
Di sisi lain, porsi belanja pegawai yang besar menyempitkan ruang untuk belanja pembangunan yang langsung menyentuh masyarakat. Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) sebagai “tulang punggung” pengelolaan keuangan daerah dituntut tidak hanya patuh regulasi, tetapi juga mampu mencari terobosan untuk meningkatkan pendapatan, mengefisienkan belanja, dan menjaga akuntabilitas fiskal.
Menjawab tantangan tersebut, tim dari Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM melaksanakan program pengabdian kepada masyarakat berupa penguatan kapasitas fiskal bagi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Program ini berfokus pada peningkatan kompetensi aparatur OPD pemungut pajak dan retribusi, sekaligus mendorong lahirnya inovasi untuk memperkuat PAD.
Dari Analisis Situasi ke Strategi Penguatan PAD
Kajian awal menunjukkan bahwa meski kontribusi PAD relatif kecil, kinerjanya tidak sepenuhnya buruk. Pajak daerah justru melampaui target hingga 108 persen, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan mencapai lebih dari 106 persen, dan lonjakan “Lain-lain PAD yang Sah” hingga 234 persen mengindikasikan adanya sumber penerimaan yang belum sepenuhnya terpetakan dalam perencanaan. Sebaliknya, retribusi daerah sebagai komponen terbesar PAD justru berada sedikit di bawah target.
Temuan ini menegaskan perlunya kajian potensi PAD yang lebih komprehensif mulai dari optimalisasi pajak sektor pariwisata, penyesuaian tarif layanan publik, hingga pemanfaatan aset daerah yang selama ini idle agar dapat dikelola secara produktif.
Di sisi tata kelola, BKAD dan OPD juga menghadapi persoalan klasik: perencanaan dan pelaporan kinerja yang belum sepenuhnya berbasis hasil (outcome). Penganggaran masih cenderung linier, laporan kinerja sering bersifat administratif, dan integrasi perencanaan, penganggaran dan pelaporan belum optimal. Karena itu, penguatan sinergi antara Bappeda, BKAD, dan OPD dipandang penting untuk memastikan setiap rupiah anggaran benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Pelatihan, Pendampingan, dan Roadmap Kemandirian Fiskal
Program penguatan kapasitas ini dirancang dalam empat tahap: persiapan, pelatihan teknis, pendampingan penyusunan dokumen kebijakan fiskal, dan finalisasi dokumen sebagai rujukan resmi BKAD. Pelatihan teknis menggunakan pendekatan problem-based workshop, berangkat dari persoalan nyata: ketergantungan tinggi pada transfer, rendahnya rasio PAD, lemahnya realisasi retribusi, hingga risiko sistem self-assessment. Instrumen pre-post test mengukur pemahaman
peserta terhadap isu utama seperti kepatuhan wajib pajak, potensi realisasi penerimaan, strategi peningkatan PAD jangka pendek, dan indikator kemandirian fiskal.
Hasilnya, nilai rata-rata peserta naik dari 75 persen pada pre-test menjadi 83 persen pada post-test. Kenaikan delapan poin ini menunjukkan peningkatan pemahaman yang signifikan sekaligus menegaskan efektivitas pendekatan berbasis masalah dan studi kasus lokal yang digunakan dalam pelatihan. Melalui proses ini, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tidak hanya memperoleh peningkatan kapasitas SDM, tetapi juga arah strategis yang lebih jelas untuk memperkuat kemandirian fiskal dan mengurangi ketergantungan pada dana transfer pusat secara bertahap.
Program penguatan kapasitas fiskal di Gunungkidul ini berkaitan erat dengan beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yakni SDG 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, SDG 16 Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh, dan SDG 17 Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. [Red. Kun]
