
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tengah dihadapkan pada tantangan serius soal keterjangkauan perumahan, meski upah minimum regional di provinsi ini tercatat terendah di Pulau Jawa. Kenaikan harga rumah yang terus meroket membuat banyak warga terutama generasi mudakesulitan mewujudkan impian memiliki hunian sendiri. Permintaan rumah di Yogyakarta dipicu oleh besarnya porsi penduduk usia 15–26 tahun yang memasuki usia menikah dan berencana berinvestasi dalam kepemilikan rumah. Namun, kombinasi antara pendapatan rumah tangga yang terbatas dan harga properti yang terus meningkat mendorong angka keterjangkauan perumahan ke titik terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Dinamika makroekonomi turut memperburuk kondisi ini. Dalam situasi suku bunga rendah dan tekanan inflasi, harga hunian cenderung melonjak cepat, sementara defisit transaksi berjalan mendorong apresiasi harga real estate secara lebih luas. Peristiwa serupa pernah terjadi pada era 1970-an, ketika percepatan inflasi justru menurunkan biaya kepemilikan rumah dan memicu lonjakan harga riil properti. Jika dilihat secara nasional, indeks harga hunian residensial tumbuh lebih tinggi daripada indeks harga real estate komersial. Sebaliknya, di Yogyakarta, peningkatan harga properti komersial—termasuk hotel, kos eksklusif, dan kafe—melampaui laju kenaikan harga rumah tinggal. Lonjakan ini dipicu oleh geliat pariwisata dan kehidupan kampus yang menarik banyak investor. Kondisi khusus di Yogyakarta juga sempat memicu kebijakan moratorium perizinan hotel pada 2014–2016 untuk meredam pembangunan berlebih. Meski kebijakan itu sempat menyeimbangkan pasokan, tekanan komersialisasi lahan di pusat kota tetap tinggi, sehingga banyak pekerja berpendapatan rendah terdorong mencari hunian di kawasan pinggiran. Akibatnya, urban sprawl meluas dengan tumbuhnya kompleks perumahan baru yang dilengkapi fasilitas sosial dan transportasi.
Para pakar menyoroti pentingnya kebijakan terpadu untuk mengatasi kerawanan pasar perumahan. Subsidi perumahan bagi keluarga berpenghasilan rendah, skema kredit mikro, serta zonasi campuran yang mengintegrasikan hunian, ruang publik, dan area komersial dianggap krusial. Sistem pemantauan harga real estate secara real-time juga diusulkan untuk mendeteksi potensi gelembung harga sejak dini. Selain itu, pengembangan jaringan transportasi berkelanjutan termasuk angkutan umum, jalur sepeda, dan koridor pejalan kaki menjadi syarat mutlak agar hunian pinggiran kota dapat diakses tanpa menambah kemacetan dan emisi. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat diharapkan menghasilkan solusi inovatif yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan hunian terjangkau. Dengan langkah-langkah strategis tersebut, Yogyakarta berpeluang menjadi model kota berkelanjutan yang inklusif dan tangguh, selaras dengan agenda global SDG 11. Di tengah dinamika pasar properti dan tekanan ekonomi, sinergi kebijakan fiskal, tata ruang, dan teknologi smart city dirasa mampu menjaga harmonisasi antara investor dan warga kota. [Red. Bagaskara]