Berdasarkan Global Food Security Index (GFSI) 2022, ketahanan pangan Indonesia berada di posisi 63, di bawah Singapura (28), Malaysia (41), dan Vietnam (46), namun di atas Thailand (64). Posisi Indonesia tersebut tidak jauh berbeda dengan posisi tahun 2017, yaitu di peringkat 65 (The Economist Group, 2024).
GFSI menilai ketahanan pangan negara negara di dunia dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), kualitas dan keamanan (quality and safety) serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).
Terkait dengan aspek availability dari perhitungan GFSI, diperlukan penentuan efisiensi usaha tani dengan menggunakan perhitungan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). Dengan perhitungan DRCR ini, dapat terlihat apakah suatu kegiatan usaha tani komoditas tertentu memiliki keunggulan komparatif dan efisien dalam memanfaatkan sumber daya dalam negeri.
Hasil perhitungan dengan menggunakan data Survei Struktur Biaya Usaha Tani Padi, Palawija Tahun 2017 serta data lain yang bersumber dari BPS untuk komoditas beras, jagung dan kedelai menunjukkan bahwa semua komoditas tersebut memiliki keunggulan komparatif karena memiliki nilai DRCR<1. Nilai DRCR<1 menunjukkan bahwa kegiatan usaha tani dapat memproduksi satu unit output dengan biaya kurang dari 1 US$. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha tani beras, jagung dan kedelai mempunyai keunggulan komparatif sehingga lebih menguntungkan apabila diproduksi di dalam negeri dibandingkan dengan melakukan impor.
Hal ini tentunya mendukung target pemerintah Indonesia untuk dapat melakukan swasembada pangan dalam lima tahun ke depan sesuai Asta Cita kedua, yaitu “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru” dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. (Red. Laksmi)