Migrasi penduduk, perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain, merupakan fenomena kompleks dengan implikasi signifikan bagi pembangunan dan keberlanjutan perkotaan. UNCTAD 2023, memprediksi proporsi penduduk dunia yang tinggal di kawasan perkotaan mencapai 68% pada tahun 2050. Seiring dengan terus meningkatnya urbanisasi secara global tantangan dalam mengelola pertumbuhan ini secara berkelanjutan menjadi semakin mendesak.
Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) mengalami tantangan dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan yang dipengaruhi migrasi penduduk. Peneliti dari DEB menemukan pola migrasi penduduk di Provinsi DIY mengalami perubahan dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 2013 hingga 2023. Pada 2013 kecamatan yang menjadi tujuan migrasi berada di sisi barat dan selatan KPY diantaranya Kapanewon Gamping, Banguntapan dan Kalasan, namun pada tahun 2023 terjadi pergeseran tujuan migrasi menjadi sisi timur pada tahun 2023 diantaranya di Kapanewon Depok dan Kalasan.
Migrasi penduduk juga teridentifikasi menggunakan analisis data Nighttime Light (NTL) mulai mengarah ke wilayah barat dan selatan di luar KPY, tepatnya di Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul bagian selatan dan Kabupaten Gunungkidul. Data NTL digunakan untuk mewakili aktivitas manusia dan menunjukan adanya aktivitas perekonomian di malam hari. Beberapa daerah yang terdeteksi adanya peningkatan aktivitas seperti Kapanewon Temon dan Kota Wates di Kabupaten Kulonprogo, serta beberapa kecamatan di pusat Kabupaten Bantul. Untuk Kabupaten Gunungkidul aktivitas perekonomian terdeteksi berkembang di kawasan sekitar Kota Wonosari, sedangkan daerah pantai selatan Gunungkidul belum banyak aktivitas pada malam hari.
Migrasi penduduk di KPY, utamanya Provinsi DIY, terdeteksi mulai mengarah pada kawasan rural yang akan mengancam keberlanjutan kawasan apabila tidak ada strategi pengembangan kawasan sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG’s 11 tentang kota dan pemukiman yang berkelanjutan. Berbagai permasalahan menjadi tantangan transformasi wilayah akibat migrasi penduduk, diantaranya penngkatan terhadap infrastruktur dan layanan publik di kawasan rural yang belum siap. Implikasinya akan mengakibatkan adanya degradasi lingkungan, kemacetan lalu lintas hingga terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi.
Selain itu, pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali di kawasan rural akan mengancam pengurangan lahan produktif pertanian dan alih fungsi lahan. Pada sisi lain, proses gentrifikasi akibat perubahan karakteristik kawasan-sosial hingga kenaikan harga tanah berpotensi menimbulkan konflik sosial hingga terusirnya masyarakat lokal. Untuk mengatasi tantangan pembangunan yang ada diperlukan upaya serius dan kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, swasta, hingga partisipasi masyarakat dalam merumuskan strategi pengembangan kawasan yang berkelanjutan. (Red. Anggi)